Kartini Hari Ini

Sebelum menuliskan isi kepala saya 21 April ini, saya ingin mengucapkan selamat Hari Kartini kepada orang - orang yang memandang perempuan sebagai manusia yang utuh.
21 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini, yang mana Kartini adalah seorang wanita yang paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. 21 April juga sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangannya untuk membela hak - hak perempuan, dan produk dari perjuangannya ini dikenal dengan “emansipasi”. 
Oke, ini mulai menarik. Memang, kita tidak bisa sangkal bahwa Kartini telah membuka sejumlah pintu bagi perempuan-perempuan Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kesamarataan dalam hal mendapat pendidikan, dalam hal persaingan kerja, merupakan salah dua dari sekian banyak yang diperjuangkan Kartini.
Tapi, ada satu hak perempuan yang masih perlu ditagih lagi kejelasannya, yakni hak mendapatkan “rasa aman”. Karena rasa aman adalah hal yang paling particularly dalam diri perempuan. Namun, sekarang ini untuk beraktivitas dengan nyaman terasa sulit bagi kebanyakan perempuan. Verbal harassment dan Physical harassment menjadi hal yang tak bisa dihindari oleh perempuan. Tentu ini sangat mengganggu bagi perempuan.
Ketika di tempat umum, ataupun ditempat - tempat tertentu yang terpaksa harus saya lalui, saya kerap mendapatkan verbal harassment, cat calling semacam “Khem... cantik!” atau bernada menggoda lainnya. Bahkan ucapan ‘salam’ pun dijadikan bahan godaan. Sangat tidak etis. Mungkin para pelaku cat calling merasa ‘kami’ perempuan terutama saya, merasa bahwa godaan seperti itu adalah pujian, tidak demikian. Justeru ‘kami’ merasa jijik dengan tindakan tidak berkualitas tersebut.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Bukan tidak pernah, saya memikirkan tindakan apa yang justeru akan membuat mereka (para pelaku cat calling) menjadi jera atau paling tidak merasa malu untuk menggoda. Satu - satunya cara yang bisa kita lakukan ketika menerima godaan itu adalah dengan melabrak langsung, misalnya begini, “Maaf, mau lo apa ya?”. Tapi, bagaimana jika pelakunya berkelompok? Hal inilah yang membuat kebanyakan perempuan merasa lebih baik untuk mengacuhkan saja. Tapi, dengan tindakan mengacuhkan seperti demikian, membuat para pelaku tetap menggoda dan membuat perempuan tetap merasa tidak aman. Ini adalah dilema berat.
Yang paling memalukan adalah cat calling yang terjadi di hampir setiap lingkungan pendidikan. Sekolah atau tempat kuliah misalnya. Banyak kita temukan para pelaku “penggoda” ini. Apa yang ada di otak mereka? Kelakuan binatang seperti itu tentu tidak cocok jika terjadi dilokasi intelektual.
Dan bagaimana dengan Physical harassment? Apa saya pernah mendapatkannya?
Tentu, bahkan pelecehan secara fisik saya dapatkan pertama kali ketika pulang sekolah. Waktu itu saya kelas tiga MTs, pelakunya adalah kakak kelas (Kelas 1 MA). Mekanisme self defense atau pertahanan diri saya masih lemah kala itu, karena saya masih ingusan dan belum mengerti apa - apa. Yang terjadi adalah, he grabbed my booty. Refleks saya teriak, dan pelakunya kabur dengan wajah menang. Saya merasa sangat hina dan tidak dihargai. Berlebihan? Tidak, sama sekali tidak, bayangkan seorang anak remaja dicolek bokongnya. Bayangin kalau itu adalah adek kalian.
Kejadian - kejadian seperti yang saya alami, pasti juga pernah dialami oleh perempuan - perempuan lain. Namun, yang disalahkan masih tetap perempuan. Dengan alasan pakaian yang terlalu terbuka lah, atau penampilan yang terlalu mencolok lah. Bagaimana dengan kejadian saya tadi? yang saya lakukan sudah sangat normal, keluar rumah dengan pakaian syar’i dan tertutup, bahkan tak jarang saya menggunakan niqab ketika berkendara. Tapi tetap saja saya mendapatkan pelecehan. See, masalahnya tentu bukan pada pakaian toh? Saya tidak habis pikir. 
Beberapa teman saya yang laki - laki menganggap itu adalah sesuatu hal yang biasa, tidak perlu diseriusi. Hey, melecehkan perempuan adalah hal sepele? Otakmu terbuat dari tinja? Saya kadang geram dengan reaksi laki - laki yang seolah menganggap itu sepele, mungkin tidak semua, tetapi sebagian besar yang saya temukan, ya demikian pendapat mereka. Coba para lelaki ini bayangkan, bagaimana jika yang dilecehkan itu adalah ibu mereka, atau adik mereka, atau sodara perempuan mereka? Apa mereka tetap mengabaikan? Kalau iya, berarti mereka sakit jiwa! 
Jika kita lihat - lihat fenomena yang terjadi dimana yang paling sering diganggu adalah perempuan. Maka bisa kita katakan bahwa, sebenarnya perempuan masih dipandang sebagai sebuah “objek”, bukan dipandang sebagai perempuan yang utuh. Pertanyaan berikutnya, kenapa hal ini masih terus berlanjut?
Dilihat dari sejarahnya, bangsa kita memiliki pandangan bahwa laki - laki memegang kendali lebih besar dibandingkan perempuan. Mungkin hal ini yang membuat suara perempuan cenderung tidak di dengar dan tidak dihargai. Ini masalahnya, kita masih berpikir bahwa perempuan tidak memiliki power apa -apa dibandingkan laki - laki. Laki - laki masih berpikir untuk menunjukkan powernya terhadap perempuan, even perempuan yang tidak mereka kenal. Dengan cara menyuit - nyutin di jalan atau memegang fisik, mereka merasa lebih kuat atas hal tersebut. Lantas, jika demikan maka apa gunanya hak - hak perempuan yang telah mati - matian diperjuangkan Kartini? Hak untuk keluar rumah dan beraktivitas secara aman dan nyaman harusnya dimiliki oleh setiap orang dong!
Hari ini adalah hari Kartini, hari dimana anak - anak sekolah dan para pegawai di berbagai instansi pemerintahan mengenakan pakaian adat. Apakah memperingaati perjuangan Kartini adalah sebatas mengenakan pakaian adat? Tanpa meresapi kembali bagaimana perjuangan Kartini mengembuskan napas emansipasi? 
Bagi saya, perjuangan Kartini bukan sekedar mengenakan pakaian adat, bukan sekedar pawai arak - arakan di jalanan, bukan juga tentang kaum permpuan. Tapi lebih dari itu, Kartini sebenarnya ingin menunjukkan kepada kaum terkuat yakni laki - laki bahwa perempuan itu diciptakan untuk dihargai dan dihormati, bukan untuk dilecehkan dan direndahkan.
Sekali lagi, selamat hari Kartini kepada manusia yang memanusiakan perempuan!
Mataram, 21 April 2018
B. Rahmayanti Masruri

Comments

Popular Posts